Ratannews.com.- Kebebasan berkumpul dan berpendapat sebagai hak konstitusional warga negara yang diatur dalam pasal 28 ayat (3) huruf e, adalah hak yang seharusnya diberikan dan dilindungi oleh penguasa pemerintahan, namun menilik balik terhadap hak tersebut warga negara / masyarakat juga mempunyai keharusan untuk menyampaikan pendapat dalam suatu perkumpulan ataupun perseorangan dengan kerangka sebagai bentuk pendapat yang membela kepentingan rakyat atas kebijakan penguasa pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan kelompok atau individu masyarakat dalam sebuah kerangka negara demokrasi sebagai cita-cita negara mensejahterakan rakyat. (Welfare state) dengan Konsep diwujudkan melalui pelayanan, bantuan, perlindungan, dan pencegahan masalah sosial.
Kritik sebagai pendapat bagi kelompok atau individu masyarakat terhadap pemerintah yang sewenang-wenang yang mengabaikan urusan kesejahteraan rakyat adalah merupakan hak konstitusi yang dilindungi oleh UU, namun sebaliknya kritik yang menyesatkan yang bernuansa fitnah, ujaran kebencian, berita bohong (hoax) kepada pemerintah tidak akan mendapatkan perlindungan secara hukum justru sebaliknya akan mendapat konsekuensi hukum jika yang dikritik dapat membuktikan bahwasanya kritik yang disampaikan adalah sesuatu hal yang merugikan kepentingan pemerintah dan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang informasi dan transaksi elektronik maupun yang diatur dalam Pasal 311 KUHP dan Pasal 434 UU 1/2023 tentang KUHP baru.
Oleh karena itu seyogyanya warga negara harus paham betul dalam menempatkan kritik pada situasi dan keadaannya yang tidak berpotensi dapat mengganggu kepentingan pemerintah dan kepentingan umum pada tujuan yang dapat menghambat pembangunan mengingat kritik atau pendapat yang bernuansa Fitnah, ujaran kebencian, berita bohong maupun yang bernuansa SARA dapat mematik kerusuhan sosial yang berdampak pada aksi-aksi anarkisme yang saling menyerang, pecah belah antar kelompok dan golongan, serta permusuhan yang dapat mengakibatkan kerawanan sosial.
Kritik dapat disampaikan secara konstruktif sebagai masukan berharga, bukan sebagai ‘gangguan’ yang menimbulkan perpecahan kelompok atau mengganggu kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Kritik yang konstriktif bukanlah merupakan ancaman, melainkan alat koreksi yang penting dalam sistem demokrasi. Pemerintah telah membuka jalur-jalur Komunikasi publik secara terbuka untuk setiap aspirasi masyarakat melalui tahapan berjenjang bisa melalui kelompok-kelompok perwakilan masyarakat ataupun individu sesuai dengan prosedurnya,
Kekhawatiran bahwa larangan kritik yang akan menimbulkan semakin sempitnya ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah adalah sesuatu kekhawatiran yang berlebihan,
Seperti sebuah pernayataan yang disampaikan oleh Anom Widiyantoro Bupati Pemalang pada acara halal bi halal di kecamatan bodeh pada tanggal 1 April 2025, Anom Widiyantoro selalu Bupati Pemalang sempat melontarkan pernyataan bahwa pentingnya peran masyarakat dalam menjaga kerukunan dan gotong royong untuk membangun Kabupaten Pemalang. Ia mengakui masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan, dan tantangan terberat adalah persoalan kerukunan, persatuan, dan gotong royong.
“Ego terhadap kelompok serta kepentingan beberapa golongan menjadi penghambat dalam upaya membawa Pemalang sejajar dengan kabupaten lain di Jawa Tengah,” keluhnya.
“PR-nya masih banyak, dan yang paling berat adalah masalah kerukunan, persatuan, serta gotong royong, jadi hal-hal yang berisik inilah yang dikatakan dapat menghambat pembangunan daerah.
Menurut Firman salah seorang Penasehat KPS Sedulur Ratan Bersatu melalui wawancara pada sarana komunikasi pesan whatsapp mengatakan pernyataan Anom Widiyantoro selaku Bupati Pemalang itu adalah sebagai penanda peringatan yang hanya bermaksud sebagai evaluasi bersama pemerintah dan rakyat, bukan pada satu sikap yang bermaksud membungkam atas hak kebebasan berbicara, berpendapat atau berekspresi yang dapat dikonotasikan sebagai pemimpin yang otoriter.
Kembali pada konteks kebebasan berkumpul dan berpendapat yang diatur dalam konstitusi negara adalah Hak berorganisasi dan hak menyampaikan pendapat jalurnya dapat disampaikan dalam bentuk pidato politik baik itu politik praktis maupun politik umum sebagai bagian dari kemerdekaan berbicara yang dilindungi oleh UU. Ada ruang dan jalurnya dimana masyarakat dapat menyampaikan hak berbicara sebagai bagian dari pidato politik untuk ikut serta mensukseskan pembangunan daerah. ada naskah atau tulisan sebagai pendapat yang seharusnya disampaikan kepada pejabat pemerintah melalui orasi politik di ruang-ruang yang disediakan, Jadi ungkapan jangan berisik itu yang dimaksud adalah banyaknya pendapat yang di sampaikan tapi bukan pada forum yang tepat, walaupun kebebasan berekspresi dalam mengungkapkan pendapat di media sosial itu adalah bagian dari sarana komunikasi yang efektif namun perlu disadari bersama apabila sebuah pendapat yang disampaikan pada sarana media sosial yang dapat di baca oleh khalayak umum dan pendapatnya atau narasinya dapat memicu satu ujaran kebencian, berita bohong, fitnah yang berpotensi mengandung perpecahan antar kelompok atau individu maka dapat juga berpotensi melanggar UU, serta benar juga apa yang dikatakan Anom Widyantoro selalu Bupati Pemalang bahwa hal tersebut dapat menghambat pembangunan daerah, karena urusan kerukunan, persatuan warga masyarakat dapat terganggu.imbasnya juga terhadap pejabat penyelenggara negara atau ASN yang memikul tanggung jawab pelayanan sebagai garda depan mengantarkan suksesnya pembangunan daerah juga akan merasa terusik atas bentuk-bentuk kritik yang berisik yang dapat menimbulkan perpecahan antar golongan dan individu. ( Firman )
MEMAHAMI NORMA DAN PENGATURAN ATAS HAK BERKUMPUL DAN BERPENDAPAT.

